SMB 12,7mm senapan penangkis serangan udara yang sudah uzur masih digunakan Arhanud. (Foto: Berita HanKam)
29 Oktober 2012, Jakarta: Persenjataan TNI tidak hanya jauh dari
kebutuhan kekuatan minimum, tapi kondisinya juga mengenaskan. Mayoritas
senjata berusia 25-40 tahun dan tak sedikit yang ngadat ketika
digunakan. Akibatnya, tak semua senjata TNI ini siap dipakai saat
bertempur.
Data Sekolah Staf Komando TNI pada 2005, misalnya, menunjukkan skuadron
tempur Angkatan Udara hanya memiliki tingkat kesiapan rata-rata 30
persen. Hampir 30 persen tank dan 48,2 persen meriam milik Angkatan
Darat rusak. Sedangkan sebagian besar kapal perang Angkatan Laut sudah
berusia di atas 25 tahun.
Kondisi ini kian parah karena nyaris tak ada peremajaan senjata. Bahkan,
menurut Ketua Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat Mahfudz Siddiq,
sejak reformasi 1998 hingga akhir 2010, nyaris tak ada pengadaan
senjata baru. Karena itu, menurut Mahfudz, peremajaan dan modernisasi
persenjataan TNI mendesak dilakukan.
Anggaran pertahanan yang cekak dianggap sebagai penyebab. Sejak 2004,
bujet militer memang naik dari Rp 21,7 triliun menjadi Rp 72,54 triliun
pada 2012. Namun, anggaran itu tak sepenuhnya dipakai untuk pembelian
alat utama sistem persenjataan (alutsista). Hanya sekitar Rp 28 triliun
alokasi untuk pos ini. Baru pada 2030, menurut Asisten Bidang Kebijakan
Komite Kebijakan Industri Pertahanan Said Didu, anggaran pembelian
peralatan militer akan menembus Rp 100 triliun per tahun.
Kisah Jenderal Pramono Edhie Wibowo Menghadapi Makelar Alutsista
Mafia pengadaan juga menggerus dana pembelian alat tempur ke luar
negeri. Makelar senjata membuat harga berlipat-lipat. Jenderal Pramono
Edhie Wibowo mengisahkan pengalaman ketika Angkatan Darat hendak membeli
5.000 teropong Trijicon dari Amerika Serikat guna melengkapi senapan
serbu SS1 buatan Pindad.
Rekanan mengajukan harga Trijicon Rp 30 juta per unit. Merasa harga itu
tak masuk akal, Pramono mengeceknya di Internet. Ia menemukan harga
pasar teropong hanya US$ 1.900 atau sekitar Rp 19 juta.
Mengetahui harganya lebih murah, adik ipar Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono itu akhirnya mengutus perwiranya langsung terbang ke pabriknya
di Amerika Serikat. Pramono terkejut karena harga dari pabrik itu hanya
Rp 9 juta per unit. “Kurang dari sepertiga harga yang ditawarkan
rekanan itu,” ujar Kepala Staf Angkatan Darat ini.
Pramono mengatakan kecewa berat terhadap praktek agen peralatan militer
itu. Ia menyebutkan rekanan kadang-kadang diperlukan. Namun, ia meminta
mereka tidak mengambil keuntungan yang berlipat-lipat. “Sama-sama bela
negara, harusnya jangan gitu-gitu amat,” katanya.
Peran Makelar Alutsista
Peran pihak ketiga alias makelar dalam pengadaan peralatan militer
ditengarai bahkan lebih dominan dibandingkan dengan penggunanya.
Broker, yang mewakili produsen, umumnya menyorongkan peralatan pada awal
masa penyusunan anggaran. Angkatan atau Kementerian Pertahanan kemudian
menyusun spesifikasi pembelian peralatan militer berdasarkan tawaran
itu. Tentu saja, seperti yang terjadi pada pembelian helikopter tempur
Mi-17 dari Rusia pada 2007, suap mewarnai proses ini. Analis militer
menyebutkan, pembelian model ini berdasarkan desakan pemasok (supplier
driven factors) dan tak semata muncul dari kebutuhan (need driven
analysis).
Potensi korupsi dalam pengadaan alat utama sistem persenjataan memang
sangat besar. Soalnya, peralatan militer memiliki spesifikasi khusus
yang acap tidak ada pembandingnya. Produsennya pun terbatas, bahkan pada
beberapa peralatan hanya ada produsen tunggal. Apalagi, dengan alasan
rahasia, pengadaan dilakukan melalui penunjukan langsung.
Meski dinyatakan telah jauh berkurang, peran makelar--juga
korupsi--dalam pembelian senjata ternyata masih cukup besar. Dengan
karakteristik peralatan yang dibeli, seperti dikatakan Said Didu,
Asisten Bidang Kebijakan Komite Kebijakan Industri Pertahanan, peluang
tertinggi terjadinya kebocoran ada pada Angkatan Laut, sementara yang
terkecil pada Angkatan Darat.
Sumber: TEMPO
wow harga yang pantastik
BalasHapus